Google Translator

Rasionalisme


Rasionalisme atau gerakan rasionalis adalah doktrin filsafat yang menyatakan bahwa kebenaran haruslah ditentukan melalui pembuktian, logika, dan analisis yang berdasarkan fakta, daripada melalui iman, dogma, atau ajaran agama. Rasionalisme mempunyai kemiripan dari segi ideologi dan tujuan dengan humanisme dan atheisme, dalam hal bahwa mereka bertujuan untuk menyediakan sebuah wahana bagi diskursus sosial dan filsafat di luar kepercayaan keagamaan atau takhayul. Meskipun begitu, ada perbedaan dengan kedua bentuk tersebut:

* Humanisme dipusatkan pada masyarakat manusia dan keberhasilannya. Rasionalisme tidak mengklaim bahwa manusia lebih penting daripada hewan atau elemen alamiah lainnya. Ada rasionalis-rasionalis yang dengan tegas menentang filosofi humanisme yang antroposentrik.

* Atheisme adalah suatu keadaan tanpa kepercayaan akan adanya Tuhan atau dewa-dewa; rasionalisme tidak menyatakan pernyataan apapun mengenai adanya dewa-dewi meski ia menolak kepercayaan apapun yang hanya berdasarkan iman. Meski ada pengaruh atheisme yang kuat dalam rasionalisme modern, tidak seluruh rasionalis adalah atheis.

Di luar diskusi keagamaan, rasionalisme dapat diterapkan secara lebih umum, misalnya kepada masalah-masalah politik atau sosial. Dalam kasus-kasus seperti ini, yang menjadi ciri-ciri penting dari perpektif para rasionalis adalah penolakan terhadap perasaan (emosi), adat-istiadat atau kepercayaan yang sedang populer.

Pada pertengahan abad ke-20, ada tradisi kuat rasionalisme yang terencana, yang dipengaruhi secara besar oleh para pemikir bebas dan kaum intelektual.

Rasionalisme modern hanya mempunyai sedikit kesamaan dengan rasionalisme kontinental yang diterangkan René Descartes. Perbedaan paling jelas terlihat pada ketergantungan rasionalisme modern terhadap sains yang mengandalkan percobaan dan pengamatan, suatu hal yang ditentang rasionalisme kontinental sama sekali.

Sumber : Wikipedia

Positivisme Logis

Positivisme logis (disebut juga sebagai empirisme logis, empirisme rasional, dan juga neo-positivisme) adalah sebuah filsafat yang berasal dari Lingkaran Wina pada tahun 1920-an. Positivisme Logis berpendapat bahwa filsafat harus mengikuti rigoritas yang sama dengan sains. Filsafat harus dapat memberikan kriteria yang ketat untuk menetapkan apakah sebuah pernyataan adalah benar, salah atau tidak memiliki arti sama sekali.

Tokoh-tokoh yang menganut paham positivisme logis ini antara lain Moritz Schlick, Rudolf Carnap, Otto Neurath, dan A.J. Ayer. Karl Popper, meski awalnya tergabung dalam kelompok Lingkaran Wina, adalah salah satu kritikus utama terhadap pendekatan neo-positivis ini.

Asal dan Gagasan Positivisme Logis

Secara umum, para penganut paham positivisme memiliki minat kuat terhadap sains dan mempunyai sikap skeptis terhadap ilmu agama dan hal-hal yang berbau metafisika. Mereka meyakini bahwa semua ilmu pengetahuan haruslah berdasarkan inferensi logis yang berdasarkan fakta yang jelas. Sehingga, penganut paham ini mendukung teori-teori paham realisme, materialisme naturalisme filsafat dan empirisme.

Salah satu teori Positivisme Logis yang paling dikenal antara lain teori tentang makna yang dapat dibuktikan, yang menyatakan bahwa sebuah pernyataan dapat disebut sebagai bermakna jika dan hanya jika pernyataan tersebut dapat diverifikasi secara empiris. Konsekuensi dari pendapat ini adalah, semua bentuk diskursus yang tidak dapat dibuktikan secara empiris, termasuk di antaranya adalah etika dan masalah keindahan, tidak memiliki makna apa-apa, sehingga tergolong ke dalam bidang metafisika.

Kritik

Para pengkritik Positivisme Logis berpendapat bahwa landasan dasar yang digunakan oleh Positivisme Logis sendiri tidak dinyatakan dalam bentuk yang konsisten. Misalnya, prinsip tentang teori tentang makna yang dapat dibuktikan seperti yang dinyatakan di atas itu sendiri tidak dapat dibuktikan secara empiris. Masalah lain yang muncul adalah dalam hal pembuktian teori. Masalah yang dinyatakan dalam bentuk eksistensi positif (misalnya: ada burung berwarna hitam) atau dalam bentuk universal negatif (misalnya: tidak semua burung berwarna hitam) mungkin akan mudah dibuktikan kebenarannya, namun masalah yang dinyatakan sebaliknya, yaitu dalam bentuk eksistensi negatif (misalnya: tidak ada burung yang berwarna hitam) atau universal positif (misalnya: semua burung berwarna hitam) akan sulit atau bahkan tidak mungkin dibuktikan.

Karl Popper, salah satu kritikus Positivisme Logis yang terkenal, menulis buku berjudul Logik der Forschung (Logika Penemuan Ilmiah) pada tahun 1934. Di buku ini dia menyajikan alternatif dari teori syarat pembuktian makna, yaitu dengan membuat pernyataan ilmiah dalam bentuk yang dapat dipersangkalkan (falsifiability). Pertama, topik yang dibahas Popper bukanlah tentang membedakan antara pernyataan yang bermakna dan yang tidak, namun untuk membedakan antara pernyataan yang ilmiah dari pernyataan yang bersifat metafisik. Menurutnya, pernyataan metafisik tidaklah harus tidak bermakna apa-apa, dan sebuah pernyataan yang bersifat metafisik pada satu masa, karena pada saat tersebut belum ditemukan metode penyangkalannya, belum tentu akan selamanya bersifat metafisik. Sebagai contoh, psikoanalisis pada zaman itu tidak memiliki metode penyangkalannya, sehingga tidak dapat digolongkan sebagai ilmiah, namun jika suatu saat nanti berkembang menjadi sesuatu yang dapat dibuktikan melalui penyangkalan, maka akan dapat digolongkan sebagai ilmiah.
Sumber : Wikipedia

Filsafat

Kata falsafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Arab فلسفة, yang juga diambil dari bahasa Yunani; Φιλοσοφία philosophia. Dalam bahasa ini, kata ini merupakan kata majemuk dan berasal dari kata-kata (philia = persahabatan, cinta dsb.) dan (sophia = "kebijaksanaan"). Sehingga arti harafiahnya adalah seorang “pencinta kebijaksanaan”. Kata filosofi yang dipungut dari bahasa Belanda juga dikenal di Indonesia. Bentuk terakhir ini lebih mirip dengan aslinya. Dalam bahasa Indonesia seseorang yang mendalami bidang falsafah disebut "filsuf".

Definisi kata filsafat bisa dikatakan merupakan sebuah problem falsafi pula. Tetapi, paling tidak bisa dikatakan bahwa "filsafat" adalah studi yang mempelajari seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis.[1] Hal ini didalami tidak dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan problem secara persis, mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu, serta akhir dari proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektik. Dialektik ini secara singkat bisa dikatakan merupakan sebuah bentuk dialog. Untuk studi falsafi, mutlak diperlukan logika berpikir dan logika bahasa.

Logika merupakan sebuah ilmu yang sama-sama dipelajari dalam matematika dan filsafat. Hal itu membuat filasafat menjadi sebuah ilmu yang pada sisi-sisi tertentu berciri eksak di samping nuansa khas filsafat, yaitu spekulasi, keraguan, dan couriousity 'ketertarikan'. Filsafat juga bisa berarti perjalanan menuju sesuatu yang paling dalam, sesuatu yang biasanya tidak tersentuh oleh disiplin ilmu lain dengan sedikit sikap skeptis yang mempertanyakan segala hal.

Filsafat, terutama Filsafat barat muncul di Yunani semenjak kira-kira abad ke 7 S.M.. Filsafat muncul ketika orang-orang mulai memikirkan dan berdiskusi akan keadaan alam, dunia, dan lingkungan di sekitar mereka dan tidak menggantungkan diri kepada [agama] lagi untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini.

Banyak yang bertanya-tanya mengapa filsafat muncul di Yunani dan tidak di daerah yang beradab lain kala itu seperti Babilonia, Yudea (Israel) atau Mesir. Jawabannya sederhana: di Yunani, tidak seperti di daerah lain-lainnya tidak ada kasta pendeta sehingga secara intelektual orang lebih bebas.

Orang Yunani pertama yang bisa diberi gelar filsuf ialah Thales dari Mileta, sekarang di pesisir barat Turki. Tetapi filsuf-filsuf Yunani yang terbesar tentu saja ialah: Sokrates, Plato dan Aristoteles. Sokrates adalah guru Plato sedangkan Aristoteles adalah murid Plato. Bahkan ada yang berpendapat bahwa sejarah filsafat tidak lain hanyalah “Komentar-komentar karya Plato belaka”. Hal ini menunjukkan pengaruh Plato yang sangat besar pada sejarah filsafat.

Buku karangan plato yg terkenal adalah berjudul "etika, republik, apologi, phaedo, dan krito.

Sumber :Wikipedia

Istilah Ulul Albab Dalam Al-Qur'an

Ulul Albab adalah istilah khusus yang dipakai al-Qur’an untuk menyebut sekelompok manusia pilihan semacam intelektual. Istilah Ulul Albab 16 kali disebut dalam al-Qur’an. Namun, sejauh itu al-Qur’an sendiri tidak menjelaskan secara definitive konsepnya tentang ulul albab. Ia hanya menyebutkan tanda-tandanya saja.
Ciri-ciri ulul albab yang disebut dalam al-Qur’an adalah:

* Pertama, bersungguh-sungguh menggali ilmu pengetahuan. Menyelidiki dan mengamati semua rahasia wahyu (al-Qur’an maupun gejala-gejala alam), menangkap hukum-hukum yang tersirat di dalamnya, kemudian menerapkannya dalam masyarakat demi kebaikan bersama. "Sesungghnya, dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi ulul albab" (QS, Ali Imran, 190).

* Kedua, selalu berpegang pada kebaikan dan keadilan. Ulul Albab mampu memisahkan yang baik dari yang jahat, untuk kemudian memilih yang baik. Selalu berpegang dan mempertahankan kebaikan tersebut walau sendirian dan walau kejahatan didukung banyak orang. "Tidak sama yang buruk (jahat) dengan baik (benar), meskipun kuantitas yang jahat mengagumkan dirimu. Bertaqwalah hai ulul albab, agar kamu beruntung" (QS, Al-Maidah, 100

* Ketiga, teliti dan kritis dalam menerima informasi, teori, proporsisi ataupun dalil yang dikemukakan orang lain. Bagai sosok mujtahid, ulul albab tidak mau taqlid pada orang lain, sehingga ia tidak mau menelan mentah-mentah apa yang diberikan orang lain.

* Keempat, sanggup mengambil pelajaran dari sejarah umat terdahulu. Sejarah adalah penafsiran nyata dari suatu bentuk kehidupan.

* Kelima ulul Albab senansiasa "membakar" singgasana Allah dengan munajadnya ketika malam telah sunyi. Menggoncang Arasy-Nya dengan segala rintihan, permohonan ampun, dan pengaduan segala derita serta kebobrokan moral manusia di muka bumi.

* Keenam, tidak takut kepada siapapun, kecuali Allah semata. Sadar bahwa semua perbuatan manusia akan dimintai pertanggungan jawab, dengan bekal ilmunya, ulul albab tidak mau berbuat semena-mena.

Terdapat juga informasi dalam Al-Qur'an mengenai hal ini dalam:
(QS, Ar-Rahman : 33 )
(QS, Az-Zumar : 18 )
(QS, Az-Zumar : 9 )

Filsafat Islam Pasca Ibn Rusyd

Fenomena Filsafat Dan Mantiq Ibn Taimiyyah Oleh: Ilham Mustofal Ahyar

فمنه نتعلم وبه نتكلم وفيه ننظر ونفكر وبه نستدل ونحكم

Iftitah

Disamping fitrah untuk beragama yang ditanamkan Tuhan dalam jiwa manusia semenjak masih berada dalam rahim, manusia juga dibekali fitrah untuk berfikir yang merupakan sebuah potensi dahsyat dalam diri manusia, potensi ini bukan hanya membedakan manusia dengan makluk Tuhan yang lainnya, sebutlah tumbuhan, hewan, benda-benda mati, atau bahkan malaikat dan jin, lebih dari itu sekaligus mengantarkan manusia pada capaian-capaian kehidupan yang sangat mengagumkan secara spiritual maupun material, tersirat secara jelas dalam firman Allah SWT.:

وإذ قال ربك للملائكة إنى جاعل فى اللأرض خليفة قالوا أتجعل فيها من يفسد فيها ويسفك الدماء ونحن نسبح بحمدك ونقدس لك قال إنى أعلم ما لا تعلمون ( البقرة: 30)

Dalam ayat ini Allah menjawab keraguan malaikat yang mengkhawatirkan akibat negatif dari penciptaan manusia sebagai penguasa (khalîfah) di dunia, dengan ucapannya: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui", kata-kata ini mengisyaratkan adanya potensi yang besar dalam diri manusia yang bahkan tidak diketahui para malaikat, sampai kemudian Allah SWT.memerintahkan Adam ِِِuntuk membuktikannya:

قال يا أدم أنبئهم بأسمائهم....

Bahwa potensi itu adalah rasionalitas yang berpadu dengan spiritualitas, rasionisasi yang menggerakkan spiritualitas ini, juga yang menggerakkan manusia untuk bertanya dan mencari sekian juta hal yang memenuhi kehidupannya; tentang alam, kehidupan, kematian, pencipta, masa depan dan sebagainya. Namun tidak berarti fitrah rasionalitas ini berjalan tanpa problem, dimana pada perjalanannya kita bisa melihat kasus-kasus historis yang menghadapkan kepada kita betapa kegagalan rasionalitas itu pula yang menjerumuskan manusia kedalam liang-liang penghancuran dirinya sendiri, kita bisa ambil contoh dari pengandaian sebagian manusia bahwa kemampuan akal manusia dapat mengurai dan memecahkan segala sesuatu telah melahirkan kaum atheis yang mengingkari keberadaan Tuhan.

Sekilas Filsafat Islam

Filsafat Islam muncul sebagai imbas dari gerakan penerjemahan besar-besaran dari buku-buku peradapan Yunani dan peradaban-peradaban lainnya pada masa kejayaan Daulah Abbasiah, dimana pemerintahan yang berkuasa waktu itu memberikan sokongan penuh terhadap gerakan penerjemahan ini, sehingga para ulama bersemangat untuk melakukan penerjemahan dari berbagai macam keilmuan yang dimiliki peradaban Yunani kedalam bahasa Arab, dan prestasi yang paling gemilang dari gerakan ini adalah ketika para ulama berhasil menerjemahkan ilmu filsafat yang mejadi maskot dari peradaban Yunani waktu itu, baik filsafat Plato, Aristoteles, maupun yang lainnya. Sebenarnya gerakan penerjemahan ini dimulai semenjak masa Daulah Umawiyyah atas perintah dari Khalid bin Yazid Al-Umawî untuk menerjemahkan buku-buku kedokteran, kimia dan geometria dari Yunani, akan tetapi para Ahli Sejarah lebih condong bahwa gerakan ini benar-benar dilaksanakan pada masa pemerintahan Daulah Abbasiah saja, dan mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Al-Manshur (136-158 H) hingga masa pamerintahan AL-Ma'mun (198-218 H) , dimana penerjemahan ini tidak terbatas pada beberapa bidang keilmuan saja,akan tetapi meliputi berbagai cabang keilmuan sehingga kita bisa melihat lahirnya para ilmuan besar pada masa ini, contohnya Al-Kindi (155-256 H) seorang filosof besar yang menguasai beraneka bidang keilmuan, seperti matematika, astronomi, musik, geometri, kedokteran dan politik, disamping nama-nama besar yang muncul setelahnya, sebut saja Ar-Razi, Ibn Sina (370-428 H), Al-Farabi (359-438 H) dan yang lainnya .

Sebagaimana kajian Islam mengambil berbagai tema untuk bahan kajian tentang logika, etika, politik, metafisika dan lainnya, yang telah lebih dulu dikaji oleh bangsa Yunani, sehingga sangat dimungkinkan bahwa kajian-kajian filsafat islam dalam tema-tema ini dipengaruhi oleh filsafat Yunani, akan tetapi sesungguhnya filsafat Islam dalam beberapa sisi secara independen memiliki karakteristik yang berbeda dari filsafat Yunani. Filsafat Islam bukanlah filsafat Aristotelian yang tertulis dalam bahasa Arab ataupun filsafat Platonisme. Hal tersebut dapat dibuktikan dari upaya ahli kalam dari kelompok Mu'tazilah maupun Asyâ’irah untuk menjelaskan bahwa Islam adalah agama yang rasional, bahwa akal merupakan unsur penting dalam agama ini, sehingga mereka membungkus filsafat dalam baju keagamaan, dan dari situ mereka memahami agama Islam dengan corak filosofis. Akan tetapi selanjutnya keinginan para filosof Islam untuk memperlihatkan agama Islam dalam suatu gambaran rasional menyebabkan mereka menafsirkan sebagian persoalan ke-islam-an yang bersifat ideologis (akidah) dengan teori-teori filsafat, hal ini oleh sebagian umat islam dipandang menyalahi cara berpikir dan akidah agama Islam, maka mulailah mereka mewaspadai dan mengkritik para filosof Islam tersebut.

Ke-filosof-an Ibn Taimiyyah

Sejak awal mula Ibn Taimiyyah menggeluti filsafat, tujuannya bukanlah untuk mendalami dan memahami ilmu ini untuk kemudian mengambil manfaat yang mungkin bisa diambil darinya, akan tetapi sebaliknya untuk mencari sisi-sisi kesalahannya untuk kemudian merubuhkan bangunannya, karena dalam pandangannya filsafat telah menjadi semacam penyakit yang menyerang pemikiran orang-orang Islam, bahkan ia berpendapat bahwa sebelum seseorang mendalami akidah Islam maka ia harus membersihkan diri dari segala hal yang berbau filasafat yang menurutnya dihasilkan dari kebohongan angan-angan dan bayangan , sikap Ibn Taimiyyah ini kalau kita telusuri lebih jauh merupakan dampak dari kondisi politik dan sosio-kultural masyarakat muslim pada waktu itu:

A. Kondisi Politik

Pada abad ketujuh dan kedelapan yang merupakan masa penghabisan Daulah Abbasiah, kaum muslimin telah terpecah-belah dalam kerajaan-kerajaan kecil yang antara satu dengan yang lainnya saling memusuhi. Lebih dari itu, kerajaan-kerajaan kecil ini mendapat ancaman besar dari tiga sisi: serangan bangsa Tartar dari arah timur (Mongolia), serangan pasukan Perang Salib yang terus mendesak dari arah barat, serta ancaman akibat perpecahan dari umat Islam sendiri, sampai-sampai Ibn Al-Atsir dalam kitabnya "Al-Kamil" mengatakan: "Agama Islam dan kaum Muslimin pada waktu ini benar-benar ditimpa oleh musibah yang belum pernah menimpa satupun dari umat-umat sebelumnya…".


B. Kondisi Masyarakat

Sejak perang salib berkecamuk pada awal abad kelima Hijriah, terjadilah berturan-benturan peradaban antara barat (Eropa) dan timur (Arab), benturan-benturan ini dengan dahsyatnya berpengaruh terhadap kebudayaan, adat, pemikiran, bahkan kehidupan beragama. Begitu juga ketika bangsa Tartar mulai masuk dari arah timur dengan membawa kebiasaan, pemikiran, dan tabiat-tabiatnya. Benturan-benturan tersebut mengakibatkan disosialis yang berkepanjangan dalam berbagai aspek kehidupan kaum Muslim, ketakutan akan terjadinya perang menyebabkan terjadinya gelombang-gelombang pengungsi yang mengakibatkan bercampur-aduknya penduduk daerah satu dengan daerah yang lainnya, seperti penduduk Irak yang mengungsi ke Syam ketika bangsa Tartar menyerangnya, penduduk Mughol mengungsi ke Damaskus, yang kemudian bersama penduduk Damaskus mengungsi ke Mesir dan bahkan ada yang mengungsi sampai ke Maroko. Percampuran-percampuran secara terpaksa ini mau tidak mau ikut pula mencampur-adukkan corak kejiwaan, pemikiran, dan kemasyarakatan kedalam suatu adat (kebiasaan) yang berbeda, sehingga dari sini munculah suatu kumpulan "masyarakat terpaksa" yang tidak mempunyai pegangan dan ketenangan, dan kumpulan masyarakat ini terpusat di satu titik, yaitu Mesir.

C. Kondisi Pemikiran

Sebelum masa Ibn Taimiyyah sudah banyak tersebar aliran-aliran pemikiran yang antara satu dengan yang lainnya tidak jarang terjadi perselisihan-perselisihan, hal ini menyebabkan terbentangnya jarak antara pengikut aliran yang satu dengan yang lainnya. Perpecahan tersebut mencapai puncaknya pada masa Ibn Taimiyyah (abad ketujuh sampai awal abad kedelapan), dimana pertentangan-pertentangan tersebut mengakibatkan terpecah-belahnya para ulama dalam berbagai golongan. Di tengah keadaan ini, mencuatlah para filosof Islam yang berusaha mensinkronkan antara filsafat dengan agama sebagaimana dilakukan oleh para pengikut Ikhwan As-Shofa, Al-Ghazali dan Ibn Rusyd. Di sisi lain muncul pula para ulama yang berusaha menggabungkan antara akal dan teks seperti Muhyiddin An-Nawawi dan Fakhruddin Ar-Razi, kemudian disusul dengan munculnya para sufi yang berusaha menggabungkan antara metode filsafat akal dengan kemurnian jiwa sampai kemudian berakhir pada filsafat jiwa (spiritisme), dimana ajaran-ajaran kesufian disokong penuh oleh pemerintahan yang berkuasa waktu itu sampai kemudian banyak bermunculan apa yang disebut Ibn Taimiyyah sebagai "khurafat", masyarakat yang terlalu mendewakan ulama, dan pengagung-agungan terhadap kuburan. Dari kondisi semacam ini timbul-lah perdebatan pemikiran yang amat sengit diantara para ulama, perang dalil dengan mengatasnamakan agama tidak dapat dihindari untuk mengalahkan dan menguasai lawannya demi kepentingan golongan, tanpa mencoba untuk saling mengerti dan memahami untuk kedamaian bersama.

Dalam milleu seperti inilah seorang Ibn Taimiyyah tumbuh, dengan berbekal latar belakang keluarga sederhana -pengikut Imam Ahmad bin Hambal- yang memegang teguh ajaran agama serta keceerdasannya, ia keluar dari sarangnya untuk meluruskan ajaran-ajaran agama yang dianggapnya sudah melenceng jauh dari pakem yang seharusnya dilalui, khususnya dalam bidang filsafat dan penggunaan akal manusia yang melampaui batas. iapun banyak bertentangan dengan para ulama-ulama besar waktu itu, ini dapat kita lihat dalam karya-karyanya yang banyak mengkritik Ibn Sina, al-Razi, al-Asy'ari, al-Ghazali sampai Ibn Rusyd baik dalam mantiq, filsafat maupun tasawwufnya.

Ketegasan Dibalik Ketakutan

Dalam karyanya "Dar’u Ta'ârudh al-'Aql wa al-Naql", Ibn Taimiyyah membuka kitabnya dengan mengkritik kaum filosof sebagai "Ahli Bid'ah", disini ia secara langsung menukil pernyataan Ar-Razi yang disebutnya sebagai "pegangan ahli bidah" (pegangan kauf filosof, pen.) yang berbunyi:

"Ketika dalil 'aql dan naql saling bertentangan, atau ketika teks naql dengan realita akal saling bertentangan maka kemungkinan pemecahannya ada beberapa macam: a. Adakalanya dengan memadukan keduanya, dan ini jelas-jelas tidak mungkin; b. Atau menolak kedua-duanya, dan hal ini pun juga tidak mungkin; c. Atau dengan mengedepankan naql/teks, ini pun juga tidak mungkin, karena akal adalah sumber teks, apabila kita mendahulukan naql maka hal ini merupakan suatu bentuk penghinaan terhadap akal yang merupakan sumber naql, dan penghinaan terhadap sumber sesuatu merupakan penghinaan terhadap sesuatu itu sendiri, maka pendahuluan naql merupakan penghinaan terhadap akal dan naql; d. Maka wajib mendahulukan akal untuk selanjutnya naql/teks mungkin ditakwilkan dan kalau tidak mungkin maka ditiadakan."

Ibn Taimiyyah memandang ucapan Ar-Razi diatas sebagai pedoman umum yang dipakai oleh kaum filosof dalam menentukan apa saja yang bisa dijadikan dalil dari Kitab Allah SWT dan ucapan para Nabi, disamping apa saja yang tidak bisa dijadikan dalil dari keduannya, menurutnya karena itulah kaum filosof menentang pengambilan dalil dari apa yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul tentang sifat-sifat Allah SWT dan berbagai hal yang mereka beritakan, kaum filosof berpendapat bahwa akal tidak dapat menerimanya. Pedoman seperti ini menurut Ibn Taimiyyah menjadikan masing-masing kaum filosof meletakkan dasar-dasar independen dalam menyikapi setiap hal yang dikabarkan oleh para Nabi dan Rasul tentang Allah SWT, sehingga selanjutnya mereka meyakini bahwa inti-dasar yang mereka yakini kebenarannya adalah apa yang mereka perkirakan bahwa akal mereka bisa mengetahui dan mencernanya dan meletakkan segala yang dikabarkan oleh para Nabi dan Rasul tunduk mengikuti garis-garis metode akal yang mereka ciptakan, untuk kemudian yang cocok mereka ambil dan yang mereka rasa tidak cocok mereka buang.

Analisa Ibn Taimiyyah diatas agaknya lebih didasari oleh ketakutannya akan pengaruh-pengaruh luar yang ia rasa dapat mengancam kemurnian dan kesucian kepercayaan yang diyakininya, hal ini sebenarnya masih dalam batas-batas kewajaran melihat latar belakang keluarganya yang dengan teguh berjalan diatas rel madzhab Hanbali, seorang murid Asy-Syafi'i yang terkenal memegang teguh ajaran-ajaran Alqur'an dan As-Sunnah, dimana sudah sepatutnya baginya untuk mempertahankan keyakinannya dalam kondisi yang morat-marit akibat peperangan yang berkepanjangan dan benturan peradaban yang sedikit banyak mengakibatkan menimbulkan pesimisme terhadap sebagian besar kaum muslim.

Ibn Taimiyyah tentang metode Kaum Filosof dalam menguraikan nash Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa Ibn Taimiyyah mendalami filsafat bukanlah untuk memahami dan menyingkap kebenaran yang mungkin didapatkan didalamnya, melainkan untuk menghancurkan sendi-sendinya, maka dalam analisanya ia membagi metode-metode kaum filosof yang dianggabnya sebagai ahli bid’ah dalam dua kelompok:

D Metode penggantian (tabdil), yang diikuti oleh dua golongan:

1. Kaum Pengkhayal

Kelompok ini menurutnya, berpendapat bahwa para Nabi dan Rasul mengabarkan tentang Allah SWT, Malaikat, hari akhir, surga dan neraka serta hal-hal ghaib lainnya dengan ungkapan-ungkapan yang tidak cocok dengan yang sebenarnya, sebaliknya mereka mengabarkan kepada umatnya berdasarkan atas khayalan-khayalan yang mereka buat tentang keagungan Allah SWT, kenikmatan inderawi atau siksa badani yang akan mereka dapatkan di akhirat, walaupun mereka mengetahui bahwa yang sebenarnya bukanlah seperti itu. Akan tetapi untuk memberikan kepada umatnya pemahaman, mereka melakukan hal ini, jadi menurut kelompok ini , walaupun hal ini merupakan suatu bentuk kebohongan, akan tetapi dilakukan untuk kebaikan umat, karena dakwah mereka tidak dapat dimungkinkan kecuali dengan cara ini.

Sebagian dari kelompok ini menganggap bahwa kedudukan para filosof dan wali lebih utama dibandingkan dengan para Nabi dan Rasul, karena mereka mengetahui yang sebenarnya, dan sebagian yang lain menganggap para Nabi dan Rasul lebih mulia dibanding filosof dan wali, karena mereka mengira bahwa para Nabi dan Rasul mengetahui yang sebenarnya akan tetapi mengabarkan pada umatnya dengan apa yang dapat diterima oleh umatnya. Kelompok ini banyak diikuti oleh golongan Filsafat Kebatinan dan para pengikut Ikhwan al-Shofa, juga Al-Farabi, Ibn Sina, al-Syahrurdi al-Maqthul dan Ibn Rusyd.


2. Kaum Perubah dan Pentakwil

Kaum ini berpendapat bahwa para Nabi dan Rasul tidak mengungkapkan tentang Allah SWT, malaikat, surga dan neraka serta perkara ghaib lainnya kecuali untuk kebenaran, dan kebenaran adalah apa yang diketahui dan dibuktikan oleh akal kita, maka kemudian mereka mencoba untuk mentakwilkan ucapan-ucapan ini dengan apa yang mereka pandang cocok dengan pendapatnya, dengan beragam takwilan yang membawa bahasa asalnya untuk keluar dari pengertian yang sebenarnya, seperti halnya mereka merubah suatu lafadz dari satu makna ke makna lain yang mereka inginkan tanpa bertujuan untuk mengetahui maksud pembawa lafadz, walaupun sebenarnya mereka mengetahui maksud sebenarnya dari Sang Mutakallim. Jika setiap pentakwilan tidak bertujuan untuk menjelaskan makna yang dimaksud dari pembawa lafadz maka menurut Ibn Taimiyyah mereka telah melakukan kebohongan dengan menutupi makna asalnya, karena itulah menurutnya sebagian besar kaum filosof tidak secara tegas menyatakan takwilannya, akan tetapi kebanyakan mereka mengatakan: “ ini boleh dimaksudkan begini…” dan sebagainya yang tujuannya untuk menunjukkan adanya kemungkinan-kemungkinan dalam suatu lafadz. Secara global menurutnya, ini adalah metode kebanyakan ahli kalam, seperti: Mu’tazilah, Kullabiyah, Salimiyah, Karramiyah dan Syi’ah.

E Metode Pembodohan

Inilah yang menurut Ibn Taimiyyah sebagai ahli kesesatan dan kebodohan, dimana mereka berpedoman bahwa para Nabi dan Rasul serta seluruh pengikutnya adalah orang-orang bodoh lagi sesat, yang tidak mengetahui apa yang diinginkan oleh Allah SWT dari apa yang disifati-Nya untuk diri-Nya sendiri yang tertuang dalam ayat-ayat-Nya. Adapun sebagian lain dari kelompok ini mengatakan bahwa kandungan dari ayat-ayat Allah SWT sebenarnya bertentangan dari apa yang tampak dari lahiriyah teks, dan tidak ada satupun dari para Nabi, Rasul, Malaikat, Sahabat dan Ulama yang mengetahui apa yang diinginkan oleh Allah seperti halnya mereka tidak mengetahui kapan datangnya hari kiamat.

Antara Ibn Taimiyyah dan Al-Ghazali

Berbeda dengan Ibn Taimiyyah, Al-Ghazali mempelajari dan mendalami filsafat adalah untuk menyingkap kebenaran-kebenaran yang mungkin akan ditemukan didalamnya, yang mana dalam hal ini ia berpedoman, bahwa keraguan adalah sarana untuk sampai pada keyakinan. Setelah mendalami filsafat ia mendapatkan kesalahan-kesalahan yang banyak dilakukan oleh para filosof, maka kemudian ia mencoba untuk keluar dari filsafat dan kembali kepada agama serta menenggelamkan dirinya dalam dunia kesufian untuk selanjutnya menggunakan pengetahuannya tentang filsafat untuk menyingkap kesesatan-kesesatan para filosof dalam karyanya “Tahâfut Al-Falâsifah”. Akan tetapi pada kenyataannya Al-Ghazali tidak bisa benar-benar lepas dari filsafat, dimana dalam jiwanya masih tersisa pengaruh filsafat, karena ketika ia memutuskan untuk meninggalkan filsafat, pikirannya sudah terbentuk kedalam pola pemikiran filsafat, bahkan kemudian ia mengambil salah satu cabang filsafat sebagai bahan kajian utamanya, yaitu ilmu mantiq yang menurutnya merupakan salah satu unsur dasar dalam mempelajari Ushul Fiqh, ia meyakini bahwa tidak mungkin memahami suatu keilmuan secara sempurna kecuali dengan ilmu mantiq.


Kritik Ibn Taimiyyah terhadap Al-Ghazali tentang kejadian jisim dan alam

Ketika Al-Ghazali menjelaskan tentang kesalahan kaum filosof tentang pengingkaran Wujud Yang Pertama sebagai jisim, dikarenakan mereka mengeluarkan ungkapan-ungkapan yang kadangkala mengharuskan penggabungan antara dua hal yang bertentangan, atau kadangkala membuang keduanya, maka disini Ibn Taimiyyah mengkritik dalil-dalil yang digunakan Al-Ghazali dan pengikutnya yang hanya memasukkan sedikit saja dalil-dalil Qur’an dalam penjelasannya, ia menganggap Al-Ghazali dan pengikutnya seolah-olah tidak mengetahui atau mengabaikan dalil-dalil Qur’an yang dianggapnya lebih cocok untuk diterapkan. Sebagaimana dalam masalah kejadian alam dimana Al-Ghazali dan pengikutnya hanya memfokuskan kritikannya pada dua ungkapan kaum filosof:

1. Ungkapan tentang hal lebih dulunya alam (Qidam Al-‘Alam), dimana menurut para filosof apabila hal ini muncul dari adanya sebab yang mewajibkannya, maka akibat harus bergandengan dengan sebabnya dalam hal kekekalan dan keabadiannya.

2. Ungkapan bahwa perkara yang dikerjakan munculnya dibelakang penciptanya, dan bahwa pencipta tidak boleh selalu bersabda dan berbuat apa saja sesuai dengan keinginannya.

Kemudian Ibn Taimiyyah membeberkan bahwa dalam pandangannya Al-Ghazali dan pengikutnya mengabaikan ungkapan yang benar yang telah disepakati oleh ulama salaf, bahwa akibat datangnya selalu mengiringi Sang Maha Penyebab, dimana apabila ia berkehendak mencipta sesuatu, maka sesuatu itu akan muncul mengiringi penciptaan itu, sebagaimana sabda-Nya: إنما أمره إذا أراد شيئا أن يقول له كن فيكون “Sesungguhnya perintahnya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya ‘jadilah’ maka terjadilah ia” Dan inilah yang menurut Ibn Taimiyyah bisa dicerna oleh akal, yang menurutnya hanya boleh menerima hal-hal yang sederhana dan pasti (badihi), sebagaimana jatuhnya talak beriringan dengan pentalakan dan datangnya kebebasan beriringan dengan pembebasan. Maka yang Allah SWT inginkan akan terwujud dan yang tidak ia kehendaki tak akan pernah ada. Sudut pandang lain Ibn Taimiyyah terhadap filsafat

Kita semua hampir sepakat bahwa Ibn Taimiyyah merupakan sosok ulama yang menentang filsafat dengan keras, juga terhadap segala pemikiran keagamaan yang dibumbui oleh campur tangan akal. Akan tetapi kalau kita menelusuri lebih jauh sosok ini, kita akan menemukan warna yang berbeda dalam pendapatnya, warna yang menurut penulis menunjukkan kapasitas kaulamaannya secara murni tanpa dipengaruhi oleh gejala politik dan sosio-kultural yang berkecamuk pada zamannya, hal ini terungkap ketika ia menjelaskan tentang kemungkinan masuknya akal pada kehidupan agama dalam menjelaskan makna ayat-ayat Allah SWT, dengan batasan tidak untuk mengurai Dzat Allah SWT. Coba kita simak ungkapannya berikut ini:

“Adapun pengetahuan tentang makna ayat-ayat yang disampaikan Allah SWT selagi tidak dalam lingkup ketuhanan-Nya, maka pemikiran dan perkiraan bisa masuk kedalamnya, sebagaimana dikatakan dalam Al-Qur’an. Karena itulah, banyak dari ahli ibadah dan kaum sufi yang menganjurkan untuk melanggengkan dzikir dan menjadikannya sebagai pintu untuk sampai kepada kebenaran, hal ini akan lebih bagus apabila digabungkan dengan bertadabbur atas kandungan ayat-ayat Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan banyak juga dari para pemikir dan ahli kalam yang menganjurkan untuk selalu berpikir dan merenung sebagai jalan untuk mengetahui kebenaran. Kedua metode ini mempunyai sisi kebenaran masing-masing, akan tetapi masih membutuhkan kebenaran yang terdapat pada yang lainnya, dan keduanya harus dibersihkan dari kesesatan-kesesatan yang mungkin masuk dalam keduanya dengan cara mengikuti apa yang telah disampaikan oleh Allah SWT dan para Rasul-Nya.”

Dalam lembaran lainnya Ibn Taimiyyah kembali membuktikan kapasitasnya sebagai seorang mujaddid dengan membagi ilmu dalam dua golongan:

1. Ilmu yang didapat dari akal. Seperti matematika, kedokteran, perdagangan dan sebagainya, yang selanjutnya ia mengatakan bahwa ilmu filsafat yang berupa mantiq, ilmu alam dan astronomi yang berasal dari India dan Yunani beserta ilmu-ilmu lain dari Romawi dan Persia, ketika masuk dalam dunia Islam, orang-orang Islam mengoreksi, memperbaiki dan menyempurnakannya dengan berbekal kekuatan akal dan kefasihan bahasanya. Maka menurutnya ilmu-ilmu ini dalam tangan kaum muslim menjadi lebih sempurna, lebih mencakup dan lebih gamblang, walaupun selanjutnya ia mengecualikan permainan akal dalam masalah agama, khususnya dalam masalah ketuhanan. 2. Ilmu yang dihasilkan dari petunjuk para Nabi dan Utusan.

Telaah Mantiq Ibn Taimiyyah

Ibn Taimiyyah mendapatkan pengetahuan tentang mantiq dengan mempelajari mantiq Aristoteles (322-384 SM) dimana sebagian besar ulama muslim berkiblat kepadanya, sebagaimana ia mempelajari filsafat, iapun mempelajari mantiq untuk mencari titik kelemahan dari ilmu ini, dan setelah ia merasa cukup ia pun mulai memberontak terhadap ilmu yang dianggapnya sebagai ilmu orang-orang murtad ini, ia menggerakkan masyarakat disekitarnya untuk menentang keberadaan ilmu ini dalam dunia Islam, dengan menjelaskan bahwa mantiq merupakan barang asing bagi ranah pemikiran Islam, dan untuk membuktikan kebenaran ajaran Islam tidak membutuhkan ilmu ini. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa mantiq sama sekali tidak dapat digunakan sebagai timbangan kebenaran sebagaimana selama ini didengungkan oleh kaum filosof, karena menurutnya mantiq hanyalah berisi khayalan dan angan-angan.

Tidak cukup sampai disini, ia mengungkapkan bahwa sebenarnya para fuqaha sebelum masa Al-Ghazali memandang mantiq dengan pandangan kebencian dan penuh waspada terhadapnya dengan tujuan untuk menjaga ilmu Islam. Al-Ghazali lah yang menurutnya sebagai orang pertama yang menyatakan keharusan mengambil mantiq untuk menyempurnakan ilmu-ilmu keislaman. Ia kemudian mengkutip ungkapan Ibn Sholah yang menuturkan kesesatan ilmu mantiq: “Mantiq adalah pengantar filsafat, dan pengantar kesesatan adalah sesat, dan bersungguh-sungguh dalam mempelajarinya bukanlah perkara yang diperbolehkan oleh Pembuat Syari’at, dan tidak ada satupun dari para Sahabat, Tabi’in, dan Imam Mujtahid yang memperbolehkanya, sebagaimana pula para Ulama Salaf dan pengikutnya”

Selanjutnya Ibn Taimiyyah mengkritik pengunaan istilah-istilah filsafat dan mantiq dalam khazanah keilmuan Islam: “ Sesungguhnya ini ( mantiq) merupakan suatu bentuk pengingkaran yang buruk dan model baru dari kebodohan. Dan pada dasarnya hukum syari’at tidak membutuhkan mantiq, apa yang disangka pakar mantiq tentang mantiq sebagai penentu dan burhan hanyalah gelembung-gelembung yang diberikan Allah SWT. kepada setiap jiwa yang sehat, lebih-lebih dalam penggunaannya sebagai teori ilmu-ilmu syari’at. Karena ilmu syari’at telah sempurna dan para ulama sudah mendalami kebenarannya dengan sedetail-detailnya sehingga tidak dibutuhkan lagi ilmu mantiq ataupun filsafat beserta para filosofnya. Dan barang siapa yang menganggap bahwa ia mendalami mantiq dan filsafat dengan harapan mendapatkan manfaat dari keduanya, maka sesungguhnya ia telah tertipu oleh syetan.”

Ibn Taimiyyah juga menyerang mantiq dari segi ketidakmanfaatan ilmu ini, ia mengungkapkan bahwa tidak ada gunanya bagi seseorang mempelajari ilmu ini, baik itu secara keilmuan maupun teori, dengan dalih tidak ditemukannya satupun dari penduduk bumi yang berhasil menciptakan suatu ilmu dan menjadi pemuka didalamnya dengan berbekal ilmu mantiq, baik ilmu agama maupun lainnya. Dokter, Arsitek, Penulis, Ahli Statistik dan lainnya menurutnya mendalami keilmuannya dan mengeluarkan produknya tanpa pertolongan mantiq, sebelum mantiq datang pun para ulama Islam telah berhasil menyusun ilmu-ilmu nahwu, arudh, dan fiqh beserta ushulnya.

Tidak cukup dengan ini, Ibn Taimiyyah meneruskan serangannya pada ide dasar keilmuan ini yang bersumber pada pembagian ilmu menjadi tashawwur(visualisasi) dan tashdiq(legalisasi) dimana jalan untuk mendapatkan tashawwur adalah dengan had (definisi) dan jalan untuk mendapatkan tashdiq adalah dengan qiyas(analogi), juga tentang kalam yang terbagi menjadi empat tingkatan: dua tingkatan salbiah (negatif) dan dua tingkatan mujabah (positif), semua pembagian ini dianggap Ibn Taimiyyah sebagai suatu betuk kebohongan dan kebodohan baik dalam penafian maupun penetapannya, maka selanjutnya ia mengingkari segala kebenaran yang diperoleh dengan sylogisme mantiq dan analogi mantiq.


Kesimpulan Dan Penutup

Dari berbagai uraian diatas kita bisa mengambil kesimpulan bahwa watak dan ungkapan seseorang merupakan cerminan dari situasi politik dan sosio-kultural suatu masa, dimana semakin tinggi tingkat pressing suatu zaman terhadap apa yang dipangkunya, maka semakin kuat pula daya balik yang diakibatkannya, kondisi "masyarakat terpaksa" yang serba panik dicekam oleh ketakutan perang dan dibumbui oleh perpecahan intern sudah sewajarnya berdampak pada kejiwaan kumpulan masyarakat ini. Apalagi ditambah ruwetnya pertentangan antar pemikiran dan masuknya ilmu-ilmu dari peradaban lain. Maka yang agaknya menjadi fokus pertanyaan kita adalah:

"Tepatkah ungkapan-ungkapan atau fatwa-fatwa yang tumbuh dalam kondisi politik dan sosio-kultural semacam ini untuk diterapkan dalam kondisi yang menjadi latar belakang kita saat ini?". Sebuah pertanyaan dari penulis yang semoga bisa mengantarkan kita untuk terus mencari dan memahami berbagai kejadian histories, untuk kemudian kita bisa mengambil manfaat dari apa yang kita pahami, khususnya dari sosok Ibn Taimiyyah yang kita bahas saat ini. Akhirnya beribu ungkapan terimakasih saya persembahkan untuk Ayah dan Bunda yang selalu dan senantiasa mando'akan anaknya ini, dan tak lupa ungkapan rasa salut kepada segenap rekan-rekan Fismaba selalu berusaha untuk menambah wawasannya, permohonan maaf dari saya apabila dalam tulisan ini masih terdapat banyak kesalahan. Allah…terimakasih atas segala karunia-Mu, karena semuanya adalah milik-Mu, dari-Mu lah kami bisa memahami dan mengambil manfaat dalam segalanya.

Dasar Berpikir

Sebagian besar orang-orang sering menuangkan pikiran nya kedalam bentuk tulisan, perkataan, obrolan, isyarat dan lain sebagainya.

Pikiran yang disampaikan itu tentu beraneka ragam adanya, ada yang kelihatannya bagus dan masuk akal, Ada juga yang kelihatan bagus tapi tidak masuk akal, ada juga yang kelihatannya tidak bagus tapi masuk akal dan ada juga yang tidak bagus dan tidak masuk akal pula.

Sekarang bagaimana cara kita untuk membedakan manakah buah pikiran yang bagus dan manakah buah pikiran yang ngaco?

Untuk membedakannya kita bisa menggunakan atau menerapkan patokan-patokan dan hukum-hukum logika yang sudah ada. Hukum, patokan dan rumus logika sering juga disebut dengan Asas Berpikir.

Asas sebagaimana kita ketahui adalah pangkal atau asal dari mana sesuatu itu muncul dan dimengerti, atau bisa juga disebut sebagai pondasinya sesuatu dimana sesuatu itu bermula.
Dalam hal ‘asas pemikiran’ , maka yang disebut dengan asas pemikiran adalah pengetahuan dimana pengetahuan lain muncul dan dimengerti. Kapasitas asas ini bagi kelurusan berpikir adalah mutlak, dan salah benar nya suatu pemikiran tergantung kepada salah benarnya asas-asas ini. Ia adalah dasar daripada pengetahuan dan ilmu.

Asas berpikir itu dapat dibedakan menjadi 3 :

-Asas pertama, Asas Identitas (Principium Identitatis) yaitu sebuah patokan dasar yang paling mendasar. Patokan yang dipatok oleh asas identitas mengatakan bahwa segala sesuatu itu adalah dirinya sendiri BUKAN yang lainnya. Contohnya, Jika kita mengakui bahwa sesuatu itu adalah A, maka ia adalah A, bukan B, C, D, ataupun yang lainnya. Identititas A adalah A sendiri. Kalau kita mengakui nama pacar kita adalah Siti, maka yang dimaksud dengan nama Siti adalah Siti yang menunjukkan identitas seseorang yang menjadi pacar kita itu, bukan Siti yang lainnya dan bukan pula Siti yang isterinya tetangga.

-Kedua, Asas Non kontradiksi (Principium contradictoris) yaitu sebuah aturan dasar yang mengatakan bahwa pengingkaran sesuatu TIDAK MUNGKIN sekaligus sebagai pengakuan terhadap sesuatu itu. Misal kita mengatakan benda itu BUKAN A, maka tidak mungkin sekaligus kita mengakui benda itu adalah A sebab realitasnya A yang kita maksud adalah A yang sama sebagaimana yang dimaksud oleh Asas Identitas, bahwa segala sesuatu itu adalah dirinya sendiri.Dengan kata lain bisa dirumuskan bahwa tidak mungkin dua kenyataan yang kontradiksi menyatu secara bersamaan sekaligus dan simultan. Tidak mungkin menyatu realitas kontradiktif sekaligus pada detik yg sama, tertawa sekaligus menangis, pergi sekaligus tidak pergi dan seterusnya. Asas berpikir pada patokan ini mengatakan bahwa “Tidak ada pernyataan yang sekaligus benar dan salah”.

-Ketiga, Asas penolakan kemungkinan ketiga (Principium exlusi tertii) yaitu sebuah aturan mendasar yang mengatakan bahwa antara pengingkaran dan pengakuan maka kebenaran terletak pada salah satunya. Pengakuan dan pengingkaran merupakan pertentangan mutlak, karena itu disamping tidak mungkin benar keduanya juga bisa dipastikan tidak mungkin salah keduanya. Asas ini menolak kemungkinan ada kebenaran yang ketiga.

Link-Link Biografi Tokoh Ilmu Pengetahuan

Kumpulan link-link yang bisa tersambung dengan alamat yang menyediakan biografi-biografi tokoh-tokoh yang turut meangambil peran dalam pencarian ilmu pengetahuan, antara lain:

Snap Shots

Get Free Shots from Snap.com